Namun tanpa kita sadari, Globalisasi telah masuk merecoki bangsa dan negara kita melalui topeng Neo-Llberalisme[3]-nya yang tak henti-hentinya mengambil dan merampok kekayaan alam Indonesia. Pencabutan subsidi atau pemotongan anggaran sosial semisal pendidikan, kesehatan, BBM, TDL dan lain-lain, tingkat upah para pekerja yang jauh dibawah standar kelayakan, harga gabah dan padi yang semakin anjlok sementara pupuk semakin tak terjangkau yang semakin membuat jidat para petani berkerut-kerut sampai sejumlah kasus anak sekolah yang rela menggantung diri dikarenakan stress tak mampu membayar uang sekolah adalah fenomena yang sudah terbiasa dipertontonkan di bawah sistem ekonomi Neo-Liberalisme tersebut yang sungguh tak beradab.
Neo-Liberalisme merupakan trend ekonomi dengan sejuta praktek-praktek ekonomi-politik busuknya yang begitu merajalela terutama terhadap negara-negara berkembang di Asia, Amerika Latin dan Afrika. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, dimana trend ekonomi Neo-Liberal tersebut telah menjadi menu santapan utama yang paling menggairahkan dari sejak Pemerintahan Diktator Orde baru Soeharto hingga Rezim sok Demokrat SBY-MJK hari ini. Betapa tidak, coba tengok rangkaian praktek kebijakan ekonomi-politik mereka yang tetap setia mengabdi kepada modal-modal internasional, pro-pasar bebas, membebek kepada Sang maha Kuat “Imperialisme Amerika serikat” dan negara-negara Imperial lainnya dalam blok ekonomi G-8 yang merupakan simbolisasi dari kekuatan Kapitalisme Global.
Kapitalisme global adalah sistem yang berdasarkan pada hak milik pribadi bagi mereka, kaum minoritas penindas yang mendominasi kekayaan dunia. Produksi berlangsung demi menghasilkan keuntungan bagi segelintir milyuner, bukan berdasarkan kebutuhan mayoritas Penduduk yang berada di dunia ini. Di bawah sistem ini, dunia terbagi-bagi menjadi negara-negara yang diperintah oleh politisi-politisi kapitalis, yang dimanipulasi oleh korporasi-korporasi besar melalui organisasi-organisasi seperti Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation– WTO), Dana Moneter Internasional (International Monetery Fund–IMF), dsb. Negara-negara ini bersaing dari segi ekonomi, politik dan secara militer demi menguasai dan merampok sumber daya, wilayah dan kekayaan, atau membentuk aliansi-aliansi apabila terdapat kepentingan bersama. Semua masalah yang terjadi di dunia seperti kemiskinan, eksploitasi, keterbelakangan Dunia Ketiga, resesi, perang, pemusnahan lingkungan hidup, rasisme, pertikaian dalam bangsa, penindasan terhadap kaum perempuan dan anak muda, semuanya disebabkan dan ditopang oleh sistem kapitalisme tersebut. Coba tengok bagaimana buasnya Amerika serikat memangsa Afganistan dan Irak dengan alasan perburuan Terorisme atau bagaimana Amerika dengan topeng IMF mancabuli negara-negara Dunia Ketiga dengan hegemoni ekomomi Neo-Liberalisme yang semakin memiskinkan dan menyengsarakan rakyat.
Akar History Neo-Liberalisme Di Indonesia
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia menemukan muaranya pada tahun 1997 seiring semakin akutnya krisis kapitalisme global. Bak mendapatkan lahan pasar yang sangat menggiurkan, kekuatan imperialismepun datang menawarkan resep penyakit resesi ekonomi tersebut dengan sejuta mimpi dan janji jalan keluar yang membutakan mata pemimpin kita yang tak tau malu. Melalui lembaga-lembaga keuangan dunia yang dijadikan alat pengeruk modal tuan-tuan serakah, IMF menjebloskan arus perekonomian domestik kita ke dalam pusaran ekonomi global Neo-Liberalisme secara integral melalui perangkap Structural Adjusdment Programs (SAPs)[4] -(sama persis dengan pengalaman mexico pada tahun 1982 yang ketika itu dinyatakan default dan dianggap tak mampu mandiri dalam meyelesaikan problem krisis di negaranya). Secara umum, Program-program SAPs bercirikan beberapa kebijakan-kebijakan ekonomi sebagai berikut : Pertama, Meniadakan hambatan investasi asing di sektor industri, perbankan, dan jasa keuangan lainnya. Tidak ada lagi pemihakan terhadap industri lokal, bank lokal, ataupun perlindungan terhadap intervensi pihak yang kuat. Kedua, Reorientasi ekonomi ke arah eksport guna memperoleh valuta asing yang di butuhkan untuk membayar hutang dan semakin tergantung pada ekonomi global. Akibatnya mengurangi keswadayaan dan keragaman produksi lokal yang mengarah pada satu hasil manufaktur saja atau satu hasil pertanian saja. Ketiga, Mengurangi upah atau menurunkan kenaikan upah, agar ekspor lebih kompetitif. Ini akan mengurangi pengeluaran pemerintah, termasuk pengeluaran untuk kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan yang dikombinasikan dengan pengurangan upah; hal ini akan mengurangi inflasi dan menjamin seluruh uang yang akan digunakan ke arah peningkatan produksi untuk ekspor. Ketiga, Memotong bea masuk atau tarif, kuota, serta hambatan-hambatan lainnya untuk impor guna mempermudahkan pengintegrasian modal global. Keempat, Melakukan devaluasi terhadap mata uang lokal terhadap mata uang kertas, seperti dollar amerika guna membuat ekspor kompetitif. Kelima, Privatisasi perusahaan-perusahaan negara serta menyediakan kemudahan bagi masuknya modal asing. Keenam, Menjalankan program deregulasi untuk membebaskan perusahaan-perusahaan berorientasi ekspor dari kontrol pemerintah yang biasanya melindungi kaum pekerja/ buruh, lingkungan hidup, dan sumber daya alam; sehingga dapat memotong biaya-biaya dan selanjutnya meningkatkan daya saing ekspor. Hal ini menghasilkan efek sekunder dari diturunkannya upah dan standar lainnya di negara-negara lainnyatermasuk negara-negara industriguna mempertahankan daya saing mereka.
Memory Of Understanding (MOU) antara pemerintah Indonesia dan IMF akan resep ekonomi Neo-Liberal inipun tertuang dalam point-point Letter Of Intens (LOI)[5] yang diantara isi dan kesepakatannya adalah Pemotongan anggaran sosial yang dianggap tidak produktif semisal BBM, TDL, Pendidikan dan kesehatan, Privatisasi atau penjualan serta obral murah perusahaan-perusahaan milik pemerintah, Deregulasi atau penghapusan hambatan-hambatan kepmilikan dominasi saham oleh Swasta, penghilangan konsep Public Goods dll. Dalam konteks perekonomian domestik kita hari ini, bisa dikatakan bahwa memang sengaja diarahkan ke dalam mekanisme pasar global (Liberalisasi) dengan memaksa sistem ekonomi nasional kita ke dalam sistem perputaran ekonomi dunia tanpa batas. Nah, siapa yang paling berperan dalam memperlancar proses liberalisasi ini? Tak lain adalah lembaga-lembaga keuangan internasional semisal IMF,World Bank, Paris Club dll. Secara umum, agenda IMF (termasuk World Bank dan WTO) ini, mengandung tiga poin utama. Pertama, liberalisasi ekonomi, yang diarahkan untuk mengurangi campur tangan negara dalam pasar atau secara umum ekonomi. Kedua, privatisasi, yang ditargetkan ke perusahaan-perusahaan milik negara. Dan ketiga, deregulasi ekonomi yang menempatkan peran negara hanya sebagai regulator atau pengawas.
Bagaimana cara kerja dan tawaran-tawaran resep eknomi apa sehingga negara-negara dunia ketiga begitu terbuai untuk terjebak ke dalam mekanisme pasar bebas tersebut? Pertanyaan ini bisa kita jawab secara sederhana yakni : Pertama, menciptakan ketergantungan melalui utang atau pinjaman kepada negara-negara dunia ketiga dengan iming-iming bahwa mengadopsi dan mengintegralkan sistem ekonomi domestik ke dalam konteks perekonomian global akan lebih mampu memacu pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan karena akan terjadi pemerataan aktivitas ekonomi (investasi, massifikasi industri, Produksi komoditas dan transaksi perdagangan). Demikian lontaran-lontaran rasionalisasi picik dari negara-negara pemodal. Kedua, membangun hegemonisasi politik secara global dengan propaganda-propaganda sesat yang mengarahkan opini tunggal bahwa hanya negara-negara maju yang mampu memberikan solusi krisis dan alternatif jalan keluar masalah kemiskinan. Ada dua hal ditimbulkan oleh proses hegemonisasi ini yakni ketakutan dan pengaruh yang sangat luar biasa (Imperialisme Budaya) sehingga Negara-Negara Satelit [6] menjadi tak berdaya dan menjadi penaganut total ekonomi konsumerisme yang berarti semakin menjadikan ekonomi negara-negara dunia ketiga tetap stagnan yang pada sisi yang lain tetap mempertahankan dominasi ekonomi negara-negara maju. Dan Ketiga, Membangun dan membentuk boneka-boneka politik (Puppet’s Goverment)[7] disetiap negara-negara berkembang guna mengontrol secara penuh negara-negara berkembang tersebut secara ekonomi dan politik yang berarti model penjajahan dan perampokan kemerdekaan dan hak asasi manusia.
Agenda Ekonomi Neo-Liberal ; Agenda Pemiskinan Rakyat
Nah, coba kita melihat realitas politik dan ekonomi negara kita hari ini ! tentunya sama persis bukan dengan penjelasan-penjelasan tersebut di atas? Lihat saja, betapa sistem dan resep ekonomi neo-liberal ditelan mentah-mentah dari rezim soeharto sampai rezim SBY-MJK hari ini. Betapa pemerintahan kita tak lebih dari boneka komparador modal internasional yang hanya bisa membebek terhadap semua keinginan-keinginan kaum Imperialis Negara-negara maju. Sampai saat ini, pemerintahan SBY-MJK begitu menggilai program-program ekonomi Neo-Liberal tersebut dengan kebanggaan tersendiri dengan merasa telah melayani kaum pemilik modal internasional, namun pada sisi lain semakin menyengsarakan rakyatnya sendiri. Persoalan pokok yang selama ini menjadi alasan utama adalah beban anggaran negara yang semakin menipis(defisit), maka tidak ada pilihan lain selain menjalankan perintah negara-negara maju melalui IMF tersebut.
Pernakah kita tengok secara cermat bahwa ternyata beban APBN kita yang paling banyak menyerap anggaran adalah UTANG[8]. Dalam APBN untuk 2005 saja, Pemerintah harus merogoh kocek kas negara untuk membayar cicilan dan bunga utang yang jatuh tempo sebesar 42 % dari total budget Anggaran negara kita atau sekitar kurang lebih 62 Trilyun[9]. Sementara anggaran sosial atau subsidi publik semakin berkurang karena terus dikurangi seperti BBM, pendidikan dan kesehatan. Ini berarti akan membuat kemiskinan semakin meluas dan pengangguran semakin merajalela dan tak mampu teratasi ketika praktek-praktek ekonomi Neo-Liberal masih terus dilakukan karena telah terbukti bahwa Neo-Liberalisme tak lebih dari topeng perampok dan penjarah kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Bayangkan saja, sampai hari ini data Badan Pusat Statistik (BPS) secara resmi mengumumkan bahwa penduduk miskin Indonesia hari ini telah mencapai 40 juta jiwa lebih, dan angka tersebut diperkirakan akan terus bertambah sejak keputusan pemerintahan SBY-MJK mengeluarkan keputusan kenaikan harga baru BBM per satu oktober 2005 yang lalu[10]. Secara kalkulatif, kenaikan BBM sebesar 30 % saja[11]., akan berpotensi melonjaknya angka kemiskinan sebanyak 20 juta jiwa. Akibat dari semuanya, tentu akan semakin membuat kemiskinan semakin meluas dan PHK akan menjadi kebiasaan bagi rakyat pekerja. Semuanya hanya akan berarti satu hal ; membunuh rakyat Indonesia secara pelan-pelan!!!
Langkah Apa Yang Harus Dilakukan Untuk Melawan Neo-Liberalisme?
Kita percaya bahwa perubahan hanya bisa dilakukan oleh massa rakyat sendiri. Untuk itu, langkah pertama yang ahrus dilakukan adalah “Membangun alat-alat perjuangan yang efektif di semua sektor rakyat, yaitu organisasi-organisasi rakyat: serikat-serikat buruh, serikat-serikat petani dan kaum miskin kota. Mahasiswa dan kaum intelektual berperan sebagai pemasok kesadaran berorganisasi kepada rakyat, dan menjadi kekuatan pelopor yang tinggi mobilitasnya”. Gerakan mahasiswa dan intelektual harus bersentuhan dengan buruh, petani dan kaum miskin kota. Mahasiswa harus membantu rakyat membangun organisasi-organisasi dan melakukan aksi-aksi. Di samping itu gerakan mahasiswa, karena lebih bebas posisinya, bertindak selaku bahan bakar bagi letupan sosial. Aksi-aksi mahasiswa ynag pada skala yang relative besar, akan memberikan efek perlawanan yang meluas terhadap massa rakyat.
Langkah kedua adalah “Menyatukan berbagai sektor rakyat dalam aliansi-aliansi multisektor dalam mengkampanyekan isu bersama menentang bahaya Neo-liberalisme”. Serikat buruh biasanya terbatas pada isu-isu perburuhan semata, demikian pula dengan serikat-serikat tani dan kaum miskin kota. Dengan membentuk aliansi multisektor, maka akan dapat disatukan irisan berbagai kepentingan massa rakyat. Aliansi multisektor juga merupakan latihan bagi rakyat untuk menyusun organisasi-sosial baru, pengganti bagi model demokrasi borjuis yang tidak berpihak kepada rakyat. Aliansi ini harus melibatkan seluas-luasnya elemen-elemen progresif, termasuk partai-partai politik yang komitmen dengan sikap anti-neoliberalisme.
Langkah ketiga adalah “Mengkampanyekan solidaritas internasional menentang Neo-liberalisme”. Bukan hanya terbatas pada negara-negara Dunia Ketiga saja, tetapi juga membangun front internasional dengan kekuatan-kekuatan kiri di negara-negara maju. Aksi-aksi menentang pertemuan WTO di Seattle (1999) dan IMF di Washington (2000) merupakan contoh bentuk solidaritas internasional anti-neoliberalisme, meskipun aksi tersebut berada pada jantung symbol kekuasan kapitalisme terbesar di belahan dunia.
[1] Lengkapnya, lihat artikel James Petras tentang Globalisasi ; Perspektif Sosialis yang disajikan dalam buku McGlobal Gombal; Globalisasi dalam perspektif Sosialis. Hal 57-78. Diterbitkan oleh Penerbit Cubuc bekerjasama dengan Penerbit Sumbu Yogyakarta. Cetakan pertama, Agustus 2001
[2] Ibid,.
[3] Neo-Liberalisme adalah wajah baru praktek busuk ekonomi Kapitalisme yang pada prinsipnya berusaha memisahkan peran dan fungsi negara dalam perekonomian karena dianggap menghalangi persaingan pasar secara luas dan kompetitif. Program seperti pencabutan subsidi publik, privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), deregulasi dll adalah kenyataan yang sekarang sedang dihadapi oleh negara-negara berkembang di bawah komando negara-negara maju melalui IMF, World Bank, WTO dll dengan jargon Neo-Liberalisme-nya.
[4] Structural Adjusment Programs (SAPs) merupakan jaring perangkap ekonomi yang direkayasa sedemikan rupa oleh negara-negara Imperialis dunia pertama untuk menjebak negara-negara dunia ketiga ke dalam kerangka bangunan perekonomian pasar bebas dengan menciptakan ketergantungan dengan beban utang yang diharuskan lengkap beserta syarat-syarat yang harus dilakukan oleh negara pengutang.
[5] Letter Of Intens (LOI) merupakan kesepakatan bersama antara Pemerintahan Indonesia dengan International Monetery Fund (IMF) pada tahun 1997 tentang program reformasi penyesuaian struktur ekonomi domestik negara kita yang secara langsung mengintegralkan perekonomian domestik Indonesia dengan pusaran perekonomian global yang mengarah kepada mekanisme kompetisi pasar bebas (Free Market Competition).
[6] Meminjam istilah Andre Gunder Frank salah seorang pencetus teori ekonomi Dependensia (Ketergantungan) yang meng-analogikan negara-negara berkembang sebagai negara-negara satelit (Subordinat) terhadap negara-negara maju. Lebih lengkapnya, Lihat buku Teori-Teori Pembangunan (Arief budiman).
[7] Secara telanjang nampak betapa Negara-negara maju di bawah komando Amerika Serikat begitu mendikte negara-negara berkembang baik dengan cara halus terselubung maupun cara-cara kekerasan diluar batas-batas kemanusia dan melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia. Coba tengok Afghanistan dan Irak pasca invasi Militer AS, hari ini bisa dikatakan negara tersebut merupakan koloni baru dari kekuasaan AS yang dikemas dalam bentuk pemerintahan yang seakan-akan milik dan kepunyaan rakyat Afghanistan dan Irak sendiri, padahal tak lebih dari pemerintahan boneka AS yang setiap saat dapat disetir sesuai dengan keinginan.
[8] Total utang negara sampai saat in adalah $ 80,278 Milyar. Sedangkan utang sektor swasta sebesar $ 52,501 Milyar. Berarti total keseluruhan Utang Luar Negeri Indonesia adalah $ 132, 779 Milyar. Sungguh angka yang akan membuat kita terhenyak dan serasa ingin mati saja.
[9] Lihat presentase menteri keuangan, “Yusuf Anwar” didepan anggota dewan pada saat pembacaaan dan pengajuan draft rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk tahun 2005 akhir tahun 2004 yang lalu pada saat penggodakan dan penyusunan APBN negara kita untuk tahun 2005.
[10] Pemerintah melalui Menteri Keuangan Yusuf Anwar dengan resmi mengumumkan harga baru penyesuaian Bahan Bakar Minyak (BBM) yang terdiri dari 3 jenis yakni, Premium yang sebelumnya Rp. 2.400/liter menjadi Rp. 4.500/Liter, Solar yang sebelumnya Rp. 2.100/liter menjadi Rp. 2.300/liter dan Minyak Tanah yang sebelumnya Rp. 700/liter menjadi Rp. 2000/liter.
[11] Data dan Fakta, Dikutip dari Koran Republika Edisi Sabtu, 24 September 2005.